Etika Bisnis Skincare dan Contoh Kasus Pelanggarannya

etika bisnis skincare

Etika bisnis skincare adalah seperangkat prinsip moral, hukum, dan standar profesional yang mengatur proses produksi, pemasaran, dan distribusi produk perawatan kulit agar memenuhi aspek keamanan, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Menurut data GlobalData Beauty Trends 2024, lebih dari 60% konsumen global menghentikan penggunaan suatu merek jika terbukti melakukan overclaim, menyembunyikan komposisi berisiko, atau melanggar prinsip keberlanjutan.

Pakar pemasaran etis, Joedy Rodrick Pakaila dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, menyatakan bahwa “kepercayaan konsumen adalah hasil dari kejujuran, bukti nyata, dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam komunikasi pemasaran produk skincare.”

Jenis etika bisnis skincare mencakup etika produk (keamanan formula, uji klinis, sertifikasi halal/vegan), etika pemasaran (klaim sesuai bukti, visual non-menyesatkan), dan etika lingkungan (kemasan ramah lingkungan, rantai pasok berkelanjutan). Efisiensi penerapan dapat diukur melalui indikator seperti tingkat retensi pelanggan, skor kepercayaan merek (brand trust score), dan penurunan keluhan konsumen.

Tujuan penerapan etika ini bukan hanya menghindari pelanggaran hukum atau backlash publik, tetapi membangun brand equity jangka panjang yang membedakan merek Anda di pasar yang kompetitif. Untuk meningkatkan efektivitasnya, perusahaan disarankan melakukan audit etika berkala, menerapkan full ingredient disclosure, dan mengadopsi standar internasional seperti ISO 22716 (Good Manufacturing Practices for Cosmetics).

Pentingnya Etika Berbisnis di Industri Kecantikan

Etika berbisnis di industri kecantikan adalah penerapan prinsip integritas, transparansi, dan tanggung jawab sosial dalam seluruh proses bisnis, mulai dari formulasi produk, pemilihan bahan baku, hingga strategi pemasaran. Menurut riset GlobalData Beauty 2024, lebih dari 60% konsumen global menghentikan penggunaan produk jika terbukti melakukan overclaim atau menyembunyikan komposisi berisiko.

Christina Willy, seorang Marketing Communications Specialist yang berpengalaman di industri kecantikan Indonesia, menekankan pentingnya merancang dan mengelola strategi komunikasi yang terintegrasi, termasuk pengelolaan media sosial dan kolaborasi dengan Key Opinion Leaders (KOL)

Etika bisnis di industri kecantikan memiliki tiga dimensi utama:

  1. Etika Produk – memastikan keamanan formula melalui uji klinis terstandar, sertifikasi halal/vegan, dan pelabelan yang akurat.
  2. Etika Pemasaran – menyampaikan klaim berdasarkan bukti ilmiah, menggunakan visual non-menyesatkan, dan menghormati keragaman konsumen.
  3. Etika Lingkungan – mengadopsi kemasan ramah lingkungan, meminimalkan limbah produksi, dan memastikan rantai pasok berkelanjutan.

Efektivitas penerapan etika dapat diukur dengan Brand Trust Index, tingkat retensi pelanggan, dan Net Promoter Score (NPS). Implementasi yang efisien melibatkan audit etika tahunan, pelatihan internal tentang responsible marketing, serta adopsi standar global seperti ISO 22716 atau ECOCERT untuk keberlanjutan.

Dengan menjadikan etika sebagai pilar utama, perusahaan tidak hanya menjaga reputasi, tetapi juga memperkuat daya saing jangka panjang, membangun loyalitas konsumen, dan meminimalkan risiko hukum.

Aspek Etis dalam Bisnis Kosmetik Skincare

Aspek etis dalam bisnis kosmetik adalah seperangkat prinsip dan praktik yang memastikan bahwa seluruh proses—mulai dari formulasi, produksi, hingga promosi—dilakukan dengan kejujuran, keamanan, dan tanggung jawab sosial. Menurut International Cosmetic Regulation Review (2024), penerapan etika yang konsisten mampu meningkatkan Brand Trust Index hingga 35% dalam kurun dua tahun.

Kepala BPOM atau Deputi Pengawasan BPOM sering menyatakan bahwa “integritas merek skincare sangat bergantung pada kepatuhan terhadap standar keamanan, kejujuran informasi, dan legalitas produk yang diawasi secara ketat oleh BPOM demi melindungi konsumen dan menjaga kredibilitas industri kosmetik Indonesia”.

Tiga sub-aspek berikut merupakan pilar utama yang menentukan reputasi jangka panjang sebuah brand:

Kejujuran Klaim Manfaat Produk

Kejujuran klaim manfaat produk adalah penyampaian informasi produk secara faktual, terukur, dan berbasis bukti ilmiah. Klaim hiperbolis seperti “menghilangkan keriput dalam 1 malam” atau “100% bebas bahan kimia” tanpa data pendukung termasuk pelanggaran serius. BPOM RI (2023) mencatat bahwa 40% produk kosmetik yang ditarik dari pasaran disebabkan klaim menyesatkan.

Langkah teknis untuk menjaga integritas klaim:

  • Melakukan uji laboratorium terakreditasi untuk membuktikan manfaat.
  • Menyertakan dosis bahan aktif, metode pengujian, dan potensi efek samping pada kemasan atau leaflet.
  • Menggunakan bahasa klaim yang selaras dengan regulasi, misalnya “membantu mengurangi tampilan kerutan” alih-alih “menghilangkan kerutan permanen”.

Pendekatan ini tidak hanya mematuhi hukum, tetapi juga memberikan sinyal kepercayaan yang kuat kepada konsumen.

Isu Uji Coba pada Hewan (Cruelty-Free)

Cruelty-free berarti seluruh proses produksi, termasuk pengujian bahan dan produk akhir, tidak melibatkan hewan percobaan. EthicalCorp (2024) melaporkan bahwa 70% konsumen Gen Z dan Milenial lebih memilih produk yang ramah hewan dan lingkungan.

Standar penerapan:

  • Memperoleh sertifikasi resmi seperti Leaping Bunny, PETA, atau Choose Cruelty Free.
  • Menyediakan dokumen audit pemasok yang menunjukkan rantai pasok bebas uji coba hewan.
  • Menggantikan uji pada hewan dengan metode in vitro atau simulasi kulit sintetis.

Pakar komunikasi dan kesehatan kulit Dr. Cholilah, Sp.KK., menyatakan bahwa produk skincare yang berlabel cruelty free (tidak melakukan uji coba pada hewan) tetap aman digunakan asalkan sudah memiliki izin BPOM dan dapat dibeli bebas di tempat resmi seperti supermarket atau drugstore. Menurutnya, produk cruelty free maupun yang tidak sama-sama punya respons berbeda ke setiap individu sehingga keamanannya tetap harus diuji dari sisi penggunaannya pada manusia, bukan dari uji coba pada hewan saja

Pemasaran yang Bertanggung Jawab dan Tidak Menyesatkan

Pemasaran yang bertanggung jawab adalah strategi komunikasi yang menyampaikan pesan produk dengan akurat, tanpa manipulasi visual atau klaim yang berlebihan. Nielsen Global Trust in Advertising Report (2023) menemukan bahwa 78% konsumen lebih memilih brand dengan iklan jujur, bahkan jika manfaat yang ditawarkan sederhana.

Praktik pemasaran etis mencakup:

  • Menggunakan testimoni asli disertai disclaimer seperti “hasil dapat bervariasi”.
  • Menyajikan visual natural tanpa filter berlebihan atau pencahayaan yang memanipulasi hasil.
  • Menghindari klaim medis untuk produk kosmetik; gunakan formulasi klaim yang sesuai kategori, misalnya “membantu merawat kulit berjerawat” bukan “mengobati jerawat”.

Pendekatan ini membangun persepsi merek yang profesional dan kredibel, sekaligus meminimalkan risiko sanksi dari otoritas pengawas.

Contoh Pelanggaran Etika Bisnis di Industri Skincare Indonesia

Pelanggaran etika bisnis di industri skincare adalah setiap tindakan produsen, distributor, atau pemasar yang bertentangan dengan prinsip keamanan, transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Menurut BPOM RI (2025), praktik ini tidak hanya merugikan konsumen secara kesehatan dan finansial, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap industri kecantikan secara keseluruhan.

Pakar hukum perlindungan konsumen, Adinda Ayu Puspita Kuncoro dan M. Syamsudin dari Universitas Islam Indonesia, menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap overclaim dan informasi menyesatkan pada produk skincare. Menurut pakar tersebut, “pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian materiil dan immateriil yang dialami konsumen akibat klaim berlebihan pada produk skincare yang menyalahi regulasi”. Hal ini diatur dalam Pasal 19-20 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan mendapat penguatan pengawasan dari BPOM untuk menjaga kebenaran informasi produk dan integritas brand skincare

Berdasarkan laporan BPOM dan temuan lapangan, pelanggaran yang umum terjadi dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Informasi Produk yang Menyesatkan dan Tidak Akurat

Pelanggaran ini mencakup klaim berlebihan (overclaiming), iklan menyesatkan, dan ketidaklengkapan informasi komposisi. BPOM RI (2023) melaporkan bahwa 40% produk kosmetik yang ditarik dari pasaran disebabkan oleh klaim yang tidak sesuai fakta.

Bentuk pelanggaran umum:

  • Klaim instan tanpa bukti ilmiah, seperti “menghilangkan keriput dalam 1 malam” atau “memutihkan kulit dalam 3 hari.”
  • Iklan yang memanfaatkan rasa takut konsumen, seolah produk tersebut berfungsi sebagai obat.
  • Tidak mencantumkan seluruh komposisi, termasuk bahan yang berisiko memicu alergi.

Contoh Kasus:
Kontroversi publik yang melibatkan seorang dokter populer di media sosial, “Doktif,” dengan beberapa merek skincare, termasuk Skincare Athena, yang dituding melakukan overclaim pada produk “White Tomato” dan “DNA Salmon” serta praktik repackaging untuk menaikkan harga.

Rekomendasi Pencegahan:

  • Terapkan full ingredient disclosure pada kemasan dan situs resmi.
  • Validasi semua klaim melalui uji laboratorium independen.

2. Keamanan Produk yang Dipertanyakan

Keamanan adalah pilar utama etika bisnis kosmetik. Pelanggaran di kategori ini termasuk penggunaan bahan berbahaya atau produk tanpa izin edar. BPOM (Februari 2025) menarik 91 merek kosmetik ilegal senilai Rp31,7 miliar dari peredaran.

Bentuk pelanggaran umum:

  • Penggunaan merkuri dan hidrokuinon dalam konsentrasi berbahaya.
  • Peredaran produk tanpa izin edar resmi.

Contoh Kasus:
Pencabutan izin edar puluhan produk kosmetik, termasuk yang terafiliasi figur publik, karena data notifikasi tidak sesuai dengan bahan baku sebenarnya.

Rekomendasi Pencegahan:

  • Lakukan audit keamanan bahan baku.
  • Gunakan pemasok yang memiliki sertifikasi Good Manufacturing Practices (GMP).

3. Dampak Lingkungan yang Diabaikan

Industri kecantikan menyumbang signifikan pada sampah plastik dan polusi kimia. Diperkirakan 50% sampah plastik kemasan sulit didaur ulang.

Bentuk pelanggaran umum:

  • Kemasan sekali pakai non-ramah lingkungan.
  • Bahan kimia seperti triclosan yang mencemari air dan mengganggu ekosistem.

Contoh Kasus:
Belum ada penindakan hukum langsung di Indonesia, namun berbagai LSM lingkungan telah menyoroti peran industri kecantikan dalam polusi plastik dan kimia.

Rekomendasi Pencegahan:

  • Gunakan kemasan refillable atau biodegradable.
  • Lakukan life cycle assessment pada produk.

4. Isu Ketenagakerjaan

Etika bisnis tidak hanya menyentuh konsumen, tetapi juga pekerja. Pelanggaran termasuk pembayaran di bawah UMR atau penawaran gaji yang tidak layak untuk posisi dengan kualifikasi tinggi.

Bentuk pelanggaran umum:

  • Upah di bawah standar minimum regional.
  • Perekrutan dengan gaji jauh dari kelayakan profesi.

Contoh Kasus:
Viralnya iklan lowongan R&D sebuah brand skincare lokal yang menawarkan gaji Rp1 juta, memicu kritik publik terkait eksploitasi tenaga kerja.

Rekomendasi Pencegahan:

  • Terapkan standar gaji sesuai UMR dan kompetensi.
  • Adopsi kebijakan fair labor seperti yang diatur ILO.

Dengan memahami pola pelanggaran ini, pelaku industri dapat merancang kebijakan internal yang lebih ketat, sementara konsumen dapat lebih kritis dalam memilih produk. Pengawasan BPOM, edukasi publik, dan komitmen brand terhadap etika adalah kombinasi kunci menuju industri skincare Indonesia yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

Tabel Rangkuman Pelanggaran

Kategori Pelanggaran
Contoh Praktik Tidak Etis
Data/Temuan
Rekomendasi Pencegahan
Informasi Produk Menyesatkan & Tidak Akurat
– Klaim instan tanpa bukti ilmiah.
– Iklan manipulatif yang memanfaatkan rasa takut.
– Komposisi tidak dicantumkan lengkap.
BPOM (2023): 40% penarikan produk kosmetik disebabkan klaim menyesatkan.
– Lakukan full ingredient disclosure.
– Validasi klaim dengan uji lab independen.
– Gunakan bahasa klaim sesuai regulasi.
Keamanan Produk yang Dipertanyakan
– Mengandung merkuri/hidrokuinon dalam kadar berbahaya.
– Produk tanpa izin edar resmi BPOM.
BPOM (Feb 2025): Penarikan 91 merek kosmetik ilegal senilai Rp31,7 miliar.
– Audit keamanan bahan baku.
– Gunakan pemasok bersertifikasi GMP.
– Terapkan uji keamanan berlapis.
Dampak Lingkungan yang Diabaikan
– Kemasan plastik sekali pakai sulit didaur ulang.
– Penggunaan bahan kimia mencemari lingkungan.
Diperkirakan 50% sampah plastik kemasan kosmetik sulit didaur ulang.
– Gunakan kemasan refillable/biodegradable.
– Lakukan life cycle assessment.
– Adopsi program daur ulang.
Isu Ketenagakerjaan
– Upah di bawah UMR.
– Gaji tidak layak untuk posisi dengan kualifikasi tinggi.
Kasus lowongan R&D brand lokal bergaji Rp1 juta viral di media sosial.
– Terapkan gaji sesuai UMR dan kompetensi.
– Adopsi kebijakan fair labor ILO.-
Audit internal ketenagakerjaan rutin.

Solusi dan Peranan Adev

Sebagai perusahaan manufaktur kontrak (maklon) di bidang skincare, PT Adev Natural Indonesia (Adev) memposisikan diri sebagai solusi bagi para pemilik merek (brand owner) untuk dapat menjalankan bisnis secara etis dan legal, serta menghindari berbagai pelanggaran yang umum terjadi di industri ini.

Berikut adalah solusi-solusi yang ditawarkan Adev dalam mengatasi berbagai pelanggaran etika bisnis skincare:

1. Solusi untuk Masalah Legalitas dan Keamanan Produk

Pelanggaran terkait peredaran produk ilegal tanpa izin edar dan penggunaan bahan berbahaya merupakan salah satu risiko terbesar. Adev mengatasi ini dengan menyediakan layanan menyeluruh untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi.

  • Jaminan Legalitas Terpadu: Adev mengurus seluruh proses legalitas produk atas nama klien. Ini mencakup pendaftaran produk untuk mendapatkan nomor notifikasi (NA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian, pemilik merek dipastikan menjual produk yang 100% legal dan aman untuk dipasarkan.
  • Kepatuhan Regulasi dan Kualitas Terjaga: Kualitas yang konsisten dan kepatuhan pada regulasi adalah kunci. Adev memastikan bahwa formulasi produk yang dibuat tidak mengandung bahan-bahan terlarang atau berbahaya seperti merkuri, sehingga melindungi konsumen akhir dan reputasi merek klien.

2. Solusi untuk Mencegah Informasi Menyesatkan (Overclaiming)

Klaim berlebihan pada iklan dan kemasan adalah bentuk pelanggaran etika yang merugikan konsumen. Adev membantu klien untuk menghindarinya melalui:

  • Panduan Formulasi dan Klaim Produk: Adev memberikan panduan lengkap yang dimulai dari tahap formulasi. Tim ahli di Adev akan membantu merancang formula produk yang efektif sekaligus memastikan bahwa klaim manfaat produk (product claim) yang akan dicantumkan pada kemasan dan materi promosi bersifat realistis, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan regulasi BPOM. Ini mencegah praktik overclaim yang menyesatkan konsumen.

3. Solusi untuk Masalah Dampak Lingkungan

Menyadari isu sampah plastik dari kemasan kosmetik, Adev menawarkan solusi yang lebih bertanggung jawab secara lingkungan.

  • Konsultasi Kemasan Ramah Lingkungan: Bagi pemilik merek yang peduli terhadap isu keberlanjutan, Adev menyediakan layanan konsultasi untuk memilih kemasan yang ramah lingkungan. Ini membantu mengurangi jejak ekologis dari produk yang dihasilkan.

4. Solusi untuk Efisiensi dan Fokus Bisnis

Dengan menyerahkan urusan produksi kepada Adev, pemilik merek dapat menghindari kompleksitas dan biaya besar dalam mendirikan pabrik sendiri yang sesuai standar.

  • Efisiensi Biaya dan Sumber Daya: Klien tidak perlu berinvestasi besar untuk membangun fasilitas produksi. Anda dapat memanfaatkan pabrik Adev yang sudah terstandarisasi untuk memproduksi kosmetik secara custom sesuai pesanan.
  • Fokus pada Pengembangan Merek: Dengan adanya jasa maklon, pengusaha dapat lebih fokus pada aspek strategis lain seperti branding, pemasaran, dan distribusi, sementara Adev menjamin produk yang dihasilkan berkualitas, aman, dan legal.

Secara keseluruhan, Adev berperan sebagai mitra strategis yang tidak hanya memproduksi barang, tetapi juga membimbing para pengusaha skincare untuk membangun bisnis yang etis, patuh hukum, dan berkelanjutan di tengah persaingan industri yang ketat.